Senin, 27 April 2009

StAR


Nama : Moh. Yusuf Pradhana

N.I.M. : 0 3 0 6 1 0 0 2 5

No. Presensi : 4

Sifat : Take-home exam mata kuliah Filsafat Hukum kelas A-1



Pertanyaan :

1) Apakah perundang-undangan Indonesia masih dapat digunakan untuk memastikan adanya pencurian asset tersebut?

2) Prosedur apakah yang harus ditempuh dalam mengembalikan aset-aset tersebut?

Jawaban :

1) Ya, masih dapat digunakan, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk melakukan reformasi hukum materiil ataupun hukum formil. Dengan segala macam peraturan perundang-undangan yang ada selama ini, sudah seharusnya asset pemerintah Indonesia yang pernah dicuri oleh pejabat-pejabat korup, dapat terdeteksi dan bisa dikembalikan lagi. Tindak pidana korupsi pada awalnya dimasukkan sebagai delik jabatan dalam buku II KUHP, sedangkan diluar KUHP sebagai berikut:

1. Peraturan Penguasa Militer Nomor. Prt / Perpu /1957;

2. Peraturan Penguasa Perang Pusat AngkatanDarat Nomor Prt / Perpu / 013/1958;

3. Undang-undangNomor 24/Prp/1960 dan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967; 4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971;

4. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999;

5. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

6. Ratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 oleh pemerintah Indonesia.

2) Kemauan Politik adalah hal terpenting selain prosedur Pidana dan Perdata dalam mengembalikan asset Negara yang dicuri. Karena itulah Pemerintah harus memiliki kemauan politik dan membentuk lembaga khusus untuk pengembalian asset Negara. Lembaga khusus tersebut bertugas menginventarisasi kontrak-kontrak yang dibuat oleh BUMN-BUMN pada masa Soeharto, akte-akte pendirian perusahaan yang dibangun pada masa pemerintahan Soeharto sampai lengsernya Soeharto, serta kontrak-kontrak yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan itu. Akan tetapi, untuk mengetahui akte-akte tersebut, terutama akte notaris dan dokumen-dokumen itu diperlukan izin pengadilan. Dalam hal ini pengadilan dapat membantu dan menilai bahwa pendirian perusahaan itu layak atau tidak. Selain melalui prosedur Pidana (represif), harus dilakukan juga prosedur secara Perdata (untuk strategi pengembalian asset), alasan diperlukan dua prosedur ini adalah agar tercipta kepastian hukum, sehingga yang terbukti korupsi harus mempertanggung jawabkannya secara pidana, dan mengembalikan asset Negara yang telah ia curi (hasil korupsi/ tindak pidana). Dalam hal pembuktian pada prosedur Perdata, pemerintah cukup mempunyai bukti awal yang telah dikumpulkan oleh lembaga khusus ataupun aparat penegak hukum lainnya bahwa aset yang akan diambil/ disita adalah hasil tindak pidana. Selanjutnya Pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan yang layak bagi pelaku, kemudian membandingkannya dengan aset yang dimiliki. Jika aset yang dimiliki ternyata melebihi jumlah pendapatannya, maka pelaku berkewajiban membuktikan bahwa aset tersebut diperolehnya secara legal dan tidak melawan hukum. Jika pelaku tidak bisa membuktikannya maka assetnya harus disita.